Selasa, 13 Januari 2009

Teori Yang Melandasi Pembelajaran Sains

Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati.

1. Teori Konstruktivisme
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti
dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.
Teori yang dikenal dengan constructivist theories of lerning menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi sesuai. Hakekat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri (Nur dan Retno,2000:2).
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7). Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu (Nur dan Retno, 2000:12). Jadi apabila siswa memiliki strategi belajar yang efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan terselesaikan maka kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif.
Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari Jerome Bruner adalah belajar penemuan dimana siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. (Nur dan Retno,2000:10)
Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan pada teori konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja (U.S. Department of Education and the National School-to-Work Office yang dikutip oleh Blanchard, 2001 dalam Nur,2001a:1).
Pada dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student centred daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning disebut sebagai strategi CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa (University of Washington,2001 dalam Nur,2001a:7)

a. Teori Piaget
Teori belajar kognitif berkembang dari Piaget, Vygotsky dan teori pemrosesan informasi. Teori kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Dalam pandangan Piaget pengetahuan datang dari tindakan jadi perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi dan fungsi. (Dahar ,1988:179). Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Fungsi itu terdiri dari organisasi dan adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui 2 proses yaitu : assimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungan. Dan proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada untuk mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan.

Menurut Slavin (dalam Nur :1998 : 27) implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
1) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
4) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.
Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.

b. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky memberikan suatu sumbangan yang sangat berarti dalam kegiatan pembelajaran. Teori ini memberi penekanan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. (Nur dan Retno,2000:4).

Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal apa yang dikatakan scaffolding (perancahan), dimana perancahan mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih lompeten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukannya sendiri. (Nur, 1998:32)
Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu :
1) Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development.
2) Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.

2. Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna (Meaningful)
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam Dahar ,1988 :142) juga menyatakan bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat, yaitu : (1). Meteri yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, (2). Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel (Dahar ,1989 :141) ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b) Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

3. Teori Bandura Tentang Modeling (Pemodelan)
Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura dan teori ini merupakan pengembangkan atau perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional. Melalui pembelajaran sosial seseorang dapat belajar melalui pengamatan (observation learning) terhadap suatu model.
Ciri model yang berpengaruh terhadap pengamat adalah model yang tampak menarik, dapat dipercaya, cocok dalam kelompok dan memberikan standar yang meyakinkan sebagai pedoman bagi pengamat.
Ada empat (4) elemen penting yang menurut Bandura perlu diperhatikan dalam pembelajaran melalui pengamatan yaitu ; (1). Atensi, (2). Retensi, (3). Reproduksi dan (4). Motivasi. (Dahar,1988:34)

Tidak ada komentar: